Dibutakan Cinta dan Menikah Tanpa Restu, Hidupku Berakhir Luka

Loading...

Saya tadinya adalah anak rumahan yang sebagian besar waktu aku habiskan bersama orangtua

Namun, setelah malam itu, aku menghabiskan sebagian besar waktu aku dengannya

Aku lupa segalanya, bahkan aku seringkali meninggalkan sholat lima waktu yang dulu aku selalu kerjakan

Mabuk cinta, itulah tepatnya

Bantahan dan cacian aku lontarkan ke orangtua saat mereka melarang aku berhubungan dengan dia

Mereka beralasan kalau mereka nggak sreg melihat orang itu, yang katanya nggak selevel dengan aku

Aku selalu berpikir kalau orangtua aku nggak rela kehilangan aku dan trauma dengan masa kemudian kakak aku

Sedikit flashback tentang masa kemudian kakak perempuan aku yang berhubungan dengan beberapa pria nggak baik

Salah satu di antaranya ternyata pecandu narkoba dan penipu yang sudah memanipulasi ayah aku untuk menanamkan saham puluhan juta rupiah di suatu forum keuangan

"Mama matre, ibu hanya pikirkan uang, uang, dan uang!" itulah salah satu kalimat yang aku teriakkan saat mereka nggak merestui relasi aku

Sesungguhnya aku telah mengetahui pendidikan dan pekerjaannya yang memang sepertinya nggak akan bisa mencukupi kehidupan keluarga

Namun, aku nggak peduli dan tetap ingin melanjutkan niat aku untuk menikah dengannya

Ketika itu aku bertekad untuk memperjuangkan cinta aku

Uang! Itulah yang terlintas dalam pikiran aku untuk menyelesaikan masalah ini

Aku berjuang dalam kurun waktu satu tahun mengumpulkan uang untuk biaya pernikahan kami

Aku mengajar di sekolah international dengan posisi jabatan yang mumpuni juga di loka les, dari satu loka ke loka yang lainnya

Namun, aku tak menyadari mengapa aku hanya berjuang seorang diri, tanpa usaha dari calon suami saya.


13 Oktober 2013, selang satu tahun lebih setelah rendezvous kami, akhirnya kami menyelenggarakan akad nikah dan resepsi yang boleh dibilang agak megah di sebuah restoran elit. 

Setelah aku mengultimatum orangtua bahwa aku nggak akan pernah menikah apabila aku nggak diizinkan untuk menikah dengannya, akhirnya orangtua aku merelakan aku untuk menikah dengannya walaupun dengan sangat terpaksa. Ketika itu aku bangga dan bahagia karena aku berhasil membujuk orang tua dan bahkan bisa menyelenggarakan pernikahan ratusan juta rupiah dengan uang dan usaha aku sendiri. Nggak sedikit pun aku sadari bila orangtua menangisi kepergian anaknya.
Dalam tiga bulan pernikahan kami, apa yang ditakutkan orangtua aku akhirnya terjadi. Suami aku memukul dan mencekik leher saya. Ini terjadi karena aku nggak suka apabila mobil aku selalu dipakai untuk antar jemput keluarganya dan aku juga menagih hutang keluarganya ke saya. Aku menangis dan meratapi nasib saya. Namun, aku berpikir kalau aku nggak boleh kalah dan orangtua nggak boleh tahu. Aku dekati dia dan meminta maaf.  

Maaf, maaf, dan maaf itu yang selalu aku katakan setiap kali kami berselisih pendapat. Aku merendahkan diri di hadapan dia dan keluarganya walaupun secara holistik biaya rumah tangga dibebankan ke saya. 

Kemudian, kami memutuskan untuk punya anak saat dia telah didesak kedua orang tuanya. Kami berusaha dan hingga akhirnya aku mengandung. 

"Plak!" pukulan itu menghantam aku kembali pada ketika aku sedang hamil. Apa sebabnya? Karena aku menanyakan hingga kapan kakaknya dan keluarganya tinggal menumpang di rumah kami. Aku beranikan bertanya setelah dua bulan mereka tinggal di rumah kami. Aku memang tipe orang yang membutuhkan privasi saat seharian bekerja dan nggak terbiasa untuk tinggal dengan poly orang di rumah kecil tipe 36. 

"Maaf," itu kata yang aku sampaikan setelah dia memukul saya. Aku terlalu takut untuk jujur ke orangtua saya.Saya selalu beranggapan kelahiran anak bisa mengubah kehidupan seseorang menjadi lebih baik. Namun, sepertinya aku belum cukup mantap untuk menjadi seorang bunda yang baik. Bahkan, aku nggak dapat menggendong bayi aku sendiri karena aku nggak punya pengalaman sama sekali tentang merawat bayi. 

Saya sangat kecewa ternyata janji mertua aku untuk merawat bayi aku ternyata hanya harap palsu karena mereka bahkan nggak tahu gimana merawat anak dengan baik. Bahkan, suami aku masih terlihat lebih cekatan daripada mereka. Akhirnya suami aku memutuskan untuk tinggal di rumah untuk merawat bayi. Gimana dengan pekerjaan suami?  Dia telah nggak digaji dua bulan dan selama itu aku yang menanggung biaya perjalanan dia dari rumah ke kantornya yang sangat jauh itu. 

Selang satu tahun usia anak kami, terjadi lagi kembali pertengkaran hebat itu. Dia memutuskan meninggalkan rumah dan memaksa aku memberitahu orang tua saya. Aku sangat takut dan terbebani atas ancamannya. 

Karena desakan itu dan kebingungan siapa yang akan mengasuh anak aku saat aku bekerja, aku memutuskan untuk memberitahu orang tua saya. Aku terhenyak saat mereka mengakui apabila mereka mengetahui neraka rumah tangga aku padahal selama ini aku selalu merahasiakan dari siapapun juga. 

Berbagai peristiwa memang sudah terjadi sepanjang kehidupan rumah tangga kami, ketidakberuntungan selalu aku alami. Mulai dari kejadian-kejadian nggak menyenangkan di kantor, di rumah, maupun di perjalanan. Peristiwa terakhir yang sangat aku sesali adalah saat aku membentak orangtua aku saat menelpon aku dan menanyakan apakah selama ini dia memperlakukan aku dengan baik. Bunda aku menceritakan kalau beberapa malam belakangan ini papa aku selalu menangis setelah shalat malam dan selalu terbayang paras aku dan suami. Dan, selang beberapa hari lalu saya, suami dan anak aku mengalami kecelakaan mobil beruntun yang menyebabkan mobil baru aku hancur. 

Ya, orangtua aku kecewa dan terlebih lagi karena aku membiayai keluarga suami aku dengan membayarkan hutang mereka. Sedih dan terpukul, ya, karena mereka lebih mementingkan uang dan janji aku untuk membantu mereka dengan jalan kekerasan dan mengancam untuk melaporkan aku ke polisi dengan alasan yang nggak mempunyai dasar hukum itu. Aku pun terpaksa pindah dari rumah yang aku tinggali sekarang. Orangtua aku mendukung aku untuk berpisah dengan suami. Ironis, aku nggak dapat lagi berjuang atas nama cinta. Saat logika harus berbicara, aku harus merelakan segala termasuk merelakan anak aku untuk diasuh oleh kedua orangtua di lain kota sementara aku harus menata kembali hati dan kehidupan saya. Selain itu, untuk antisipasi bila sewaktu-waktu keluarga suami aku datang untuk merebut anak saya. 

Kini, aku harus menempuh 450 km dalam dua minggu sekali untuk menemui anak aku yang berumur satu tahun dan masih sangat bergantung kepada ASI. Tak hentinya aku menyesali keegoisan dan keangkuhan pada masa kemudian yang akan mempengaruhi masa depan anak saya. 

Maaf, hanya satu kata itu yang dapat aku sampaikan kepada orangtua dan anak saya. Semoga bulan yang penuh berkah ini bisa membuat aku lebih dekat kepada Allah SWT dan untuk selalu percaya bahwa segalanya nggak akan berjalan lancar tanpa adanya restu dan ridha dari orangtua. 

Dari seorang anak yang pernah durhaka, 
Ninda (bukan nama sebenarnya)
- BSD City
Komentar Facebook
Loading...
Loading...
loading...